PROBOLINGGO, BolinggoNews.com – Sebuah kontroversi budaya meledak di media sosial setelah video yang menampilkan modifikasi Tari Hudoq, sebuah ritual sakral Suku Dayak menjadi gerakan horeg (joget riang atau berlebihan) viral di platform TikTok.
Konten tersebut segera memicu gelombang reaksi keras dari berbagai akun yang mengaku sebagai Dayak asli Kalimantan, menuding telah terjadi disrespek dan pelecehan terhadap warisan spiritual mereka.
Insiden ini menjadi sorotan tajam, mengingatkan publik tentang batas-batas etika dalam memanfaatkan warisan budaya demi popularitas digital.
Hudoq: Bukan Sekadar Tarian, Melainkan Ritual Suci
Tari Hudoq, yang berasal dari Suku Dayak, khususnya Dayak Bahau dan Modang di Kalimantan Timur, bukanlah pertunjukan hiburan semata.
Tarian ini merupakan warisan budaya tak benda yang sarat makna spiritual, umumnya dipentaskan sebagai bagian dari upacara permohonan dan ungkapan syukur kepada leluhur untuk hasil panen yang melimpah, sekaligus dipercaya mampu mengusir roh-roh jahat.
Para penari mengenakan topeng kayu yang melambangkan dewa, leluhur, atau binatang, serta kostum dari dedaunan.
Gerakannya dituntut penuh penghayatan, sesuai dengan karakter spiritual yang dibawakan.
Reaksi Keras Suku Dayak: Minimal Riset Dulu!
Kemunculan versi “horeg” tarian ini di media sosial memicu kemarahan, yang diungkapkan secara terbuka oleh akun-akun komunitas.
Salah satu akun yang mengaku Suku Dayak asli, KALIMANTANTRANS, mengunggah postingan dengan nada protes keras:
”Bisa-bisanya Hudoq yang kami anggap sakral malah dibuat festival horeg? tanpa izin, tarian salah, ada-ada saja memang kelakuan pulau seberang, minimal riset dulu kalau mau pakai budaya kami, mana yang boleh digunakan secara umum dan mana yang sakral !
Ketidak-terimaan ini berakar pada anggapan bahwa perubahan tarian sakral menjadi konten demi popularitas adalah bentuk pelecehan dan menghilangkan makna ritual yang telah diwariskan turun temurun.
Seruan Netizen: Hilangnya Kesakralan dan Permintaan Maaf
Banyak warganet yang menyuarakan dukungan terhadap protes tersebut, menegaskan pentingnya penghormatan terhadap nilai-nilai adat.
Akun @bet:@JeJe berkomentar, “hilang sudah ke sakralan hudoq padahal kalo liat tarian ini selalu merinding.”
Netizen lain, @YudhaKutim, memberikan edukasi mengenai batasan tarian adat: “Mungkin kalau tari enggang, tari perang, boleh lah ya.. tapi jangan Hudoq. Krn ini tarian yang d anggap sakral. bahkan hanya boleh tampil saat ada ritual tertentu.. tidak boleh asal di tampilkan.”
Terdapat pula seruan agar pihak yang bersangkutan segera meminta maaf. Salah satu komentar menyebutkan lokasi kejadian diduga berada di wilayah Dampit, Malang:
”Saya orang malang… sebelumnya saya sebagai org malang mohon Maaf sebesar-besarnya kepada warga kalimantan terutama suku dayak… yang bersangkutan segera meminta maaf.. yang jelas dan pastinya itu referensinya kurang di dalam [konten] jadi asal dipakai utk tampil di karnaval.”
Kontroversi ini menjadi pengingat penting bagi publik dan kreator konten untuk lebih bijak dan berhati-hati dalam memanfaatkan warisan budaya.
Penghormatan terhadap kearifan lokal adalah kunci utama dalam melestarikan kekayaan budaya bangsa, sekaligus menghindari konflik sosial yang tak perlu di era digital.
Penulis : De
Editor : Nos
Sumber Berita : Bolinggonews.com









