PROBOLINGGO, bolinggonews.com – Pelaksanaan proyek fisik di Kota Probolinggo sepanjang tahun anggaran 2025 menyisakan rapor merah yang mencolok, menimbulkan banyak masalah proyek lainnya.
Sejumlah proyek strategis terpaksa berakhir dengan pemutusan kontrak, meninggalkan struktur bangunan mangkrak di tengah ambisi pembangunan kota. Ini adalah inti dari banyak masalah Proyek Kota Probolinggo yang membutuhkan perhatian.
Salah satu yang paling disorot adalah pembangunan gedung Inspektorat senilai Rp3,7 miliar. Proyek ini mengalami deviasi progres yang ekstrem, mencapai minus hampir 70 persen, hingga berujung pada penghentian kerja sama secara sepihak.
Ironisnya, pengerjaan gedung yang seharusnya menjadi simbol pengawasan daerah ini justru diserahkan kepada rekanan asal Makassar, Sulawesi Selatan.
Keputusan memilih vendor lintas pulau ini pun kini menuai kritik tajam karena dinilai tidak efektif dan minim pengawasan. Kritik ini menambah deretan masalah yang mengganggu proyek Kota Probolinggo.
Wali Kota LIRA Probolinggo, Louis Hariona, menilai fenomena proyek mangkrak dan putus kontrak ini bukan sekadar kecelakaan teknis, melainkan buah dari pola manajemen birokrasi yang karut-marut.
Louis menyoroti kebiasaan melelang proyek di pengujung tahun atau menjelang tutup anggaran sebagai penyakit lama yang memicu sempitnya durasi pengerjaan yang juga menjadi bagian dari masalah proyek di Kota Probolinggo.
Akibatnya, rekanan sering kali kedodoran dalam mengejar tenggat waktu yang tidak realistis.
“Perencanaan harus dipercepat, peluncuran proyek juga harus lebih awal. Jangan menunggu akhir tahun baru bergerak,” tegas Louis.
Namun, persoalan bukan hanya soal manajemen waktu. Louis menuding aturan main di tingkat daerah, baik dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Wali Kota (Perwali), menjadi akar masalah yang harus diperbaiki.
Semua ini menunjukkan adanya masalah dalam proyek Kota Probolinggo.
Regulasi yang ada saat ini dianggap mandul karena tidak mampu memberikan solusi nyata terhadap risiko putus kontrak yang terus berulang setiap tahun.
Standar jaminan hingga mekanisme penalti terhadap 30 persen pekerjaan yang tidak terbayar ternyata belum cukup kuat untuk memproteksi kepentingan daerah dari kontraktor yang tidak kredibel. Masalah-masalah ini perlu diselesaikan dalam proyek Kota Probolinggo.
Menghadapi transisi kepemimpinan di Kota Probolinggo, Louis menekankan bahwa evaluasi total terhadap seluruh regulasi teknis di Dinas PUPR adalah harga mati guna mencegah kerugian daerah yang lebih besar di masa mendatang.
Penulis : Id
Editor : Nos
Sumber Berita : Bolinggonews.com












