PROBOLINGGO, Bolinggonews.com – Kejadian perampokan di Kelurahan Sumber Wetan, Kedopok, Kota Probolinggo, adalah potret buram keamanan kita.
Bukan hanya soal kehilangan harta benda, tapi luka mendalam atas hilangnya rasa aman di tempat yang seharusnya paling terlindung: rumah sendiri.
Empat pria tak dikenal menyatroni rumah warga pada dini hari. Mereka tak hanya mencuri—mereka melukai. Seorang korban yang tengah tertidur di teras rumah tiba-tiba dibangunkan dengan celurit melingkar di leher.
Ia melawan, dan perlawanan itu dibayar mahal: sabetan tajam, tubuh tergeletak, rumah dijarah.
Satu pelaku ditangkap. Inisialnya AS, 49 tahun. Ia bukan hanya sekedar pelaku, tetapi otak aksi sadis ini. Ia pula yang membacok korban.
Tiga rekannya masih buron, dan siapa tahu, masih berkeliaran di antara kita. Yang pasti, luka psikologis korban dan keluarganya tidak akan pulih dengan cepat—kalaupun bisa.
Ironisnya, semua terjadi saat korban tidur di beranda rumahnya sendiri. Ini mengundang pertanyaan serius: seberapa rentan masyarakat saat negara absen dalam menjamin rasa aman hingga tingkat paling dasar?
Polisi bekerja. Satu pelaku ditangkap, barang bukti disita, proses hukum berjalan. AS terancam Pasal 365 KUHP dengan hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Tapi publik juga berhak bertanya: mengapa tiga pelaku lainnya bisa lolos? Dan apa langkah sistematis untuk mencegah perampokan serupa terjadi lagi?
Ruang publik ramai oleh kampanye keamanan digital, tapi bagaimana dengan keamanan fisik yang nyata—di kampung, di gang kecil, di rumah-rumah warga biasa? Kejahatan jalanan, meski “klasik”, tetap menjadi ancaman nyata.
Penulis : De
Editor : Nos
Sumber Berita : Bolinggonews.com









