Probolinggo,bolinggoNews.com – Jauh di masa lampau, ketika langit dan laut adalah dua hamparan biru yang tak terbatas, Pulau Madura belum berwujud.
Bagi para pelayar kuno yang gagah berani mengarungi samudra yang ganas, Madura hanyalah sebuah misteri.
Mereka hanya melihat puncak-puncak tanah yang menjulang tinggi punuk-punuk raksasa yang muncul dari kedalaman air yang kelak kita kenal sebagai bukit-bukit, seperti Gunung Geger (Bangkalan) atau Gunung Pajudan (Sumenep).
Kadang, saat air laut surut, terlihatlah daratan yang datar; namun, seiring pasangnya gelombang, daratan itu kembali tenggelam seolah ditelan lautan.
Madura kala itu adalah serpihan daratan, hidup dalam tarikan napas samudra, tersembunyi dan muncul, menanti takdirnya untuk menjadi pulau yang utuh—sebuah takdir yang akan segera diukir oleh gejolak di tanah Jawa.
II. Gejolak Jawa: Kelahiran Geografis Madura
Namun, takdir Madura tak pernah terlepas dari gejolak di tanah Jawa. Sebuah kisah lain, tak kalah agung dan mengerikan, adalah kunci bagi kelahiran Madura yang sesungguhnya. Sekitar tahun 929 Masehi, di ambang abad ke-10, tanah Jawa Tengah diselimuti oleh bekas luka baru.
Konon, di muara Sungai Brantas berdirilah sebuah kerajaan megah bernama Medang Kamulan, dengan ibu kota Watanmas dan keratonnya yang agung, Giling Wesi. Di singgasana, bersemayamlah seorang raja yang perkasa, Sang Hyang Tunggal.
Akan tetapi, kemegahan itu baru saja melewati ujian maha dahsyat. Bumi di sekitarnya baru saja mengaum, memuntahkan amarah dalam letusan gunung berapi yang mengerikan. Langit terkoyak oleh abu pekat, dan lahar panas mengalir seperti darah.
Guncangan maha dahsyat itu tidak hanya menggoyahkan fondasi tanah Jawa, tetapi juga turut membentuk apa yang kelak dikenal sebagai Pulau Madura.
Guncangan dari letusan itu adalah katalis tak terbayangkan yang membangkitkan Madura dari tidur di bawah gelombang.
Serpihan-serpihan tanah yang tadinya hanya puncak-puncak yang hilang-muncul kini terangkat lebih tinggi, bersatu, dan menyatukan diri. Madura yang awalnya hanya bayangan samar di mata pelayar, kini mulai menampakkan wujudnya yang kokoh.
Ia lahir dari raungan bumi di Jawa, dibentuk oleh gejolak alam yang kejam, namun juga penuh penciptaan.
Sejak saat itu, sejarah Madura tak akan pernah lepas dari takdir yang terukir di tanah Jawa—sebuah ikatan purba yang terbentuk dari api dan air.
III. Tragedi Istana Medang Kamulan
Di jantung kerajaan Medang Kamulan, hiduplah seorang putri raja yang memesona, Putri Bendorogung. Ia adalah permata hati Raja Sang Hyang Tunggal, seorang gadis suci yang kehidupannya diliputi kemuliaan. Namun, suatu malam takdir sang putri berubah.
Ia mengalami mimpi luar biasa: rembulan purnama yang bersinar benderang seolah turun dari langit, perlahan-lahan masuk ke dalam tubuhnya, meresap ke dalam jiwanya.
Tak lama berselang, keajaiban sekaligus misteri menyelimuti istana. Putri Bendorogung mendapati dirinya hamil. Istana gempar. Raja Sang Hyang Tunggal diliputi amarah yang membarah.
Aib! Siapakah lelaki yang berani menodai putrinya? Berkali-kali sang raja mendesak putrinya menyebutkan siapa ayah dari janin yang dikandungnya.
Namun, Putri Bendorogung hanya bisa diam, bibirnya terkunci oleh rahasia yang jauh melampaui pemahaman manusia.
Kemarahan raja memuncak. Dengan suara menggelegar, ia memanggil Patih Pranggulang, panglima setianya. “Bunuh dia,” perintah raja. “Bawa kepalanya sebagai bukti kesetiaanmu. Jika kau gagal, jangan pernah kembali ke kerajaan ini, jabatanku kucabut!”
IV. Pengorbanan dan Kelahiran di Madura
Patih Pranggulang, seorang hamba setia yang hatinya teriris, tak punya pilihan selain menuruti titah raja. Dengan langkah berat, ia membawa Putri Bendorogung yang hamil ke tengah hutan belantara, tempat kehampaan dan kesunyian menjadi saksi bisu.
Di bawah bayang-bayang pepohonan, Patih menghunus pedangnya yang berkilat dingin, siap mengakhiri kehidupan tak bersalah.
Namun, saat ujung pedang mendekati leher sang putri, keajaiban tak terduga terjadi. Pedang itu tiba-tiba melesat dari genggamannya, jatuh terhempas ke tanah, seolah menolak melaksanakan perintah kejam itu. Patih Pranggulang terkejut, menganggapnya kecelakaan, dan mencobanya lagi.
Lagi-lagi pedang itu menolak, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang melindunginya. Untuk ketiga kalinya, dengan tangan gemetar sang Patih mengulang, dan untuk ketiga kalinya pula pedang itu terlepas.
“Duduklah Patih Pranggulang,” batinnya. Tiga kali ini bukan kecelakaan biasa. Ia memandang Putri Bendorogung. Matanya yang teduh menyiratkan kesucian yang tak tergoyahkan.
Patih akhirnya mengerti, kehamilan ini bukanlah dosa manusia biasa, melainkan takdir ilahi sebuah campur tangan rembulan yang termanifestasi.
Dengan hati yang mantap, Patih Pranggulang membuat keputusan maha berat. Ia memilih pengasingan demi menjaga kesucian takdir yang lebih besar.
“Aku tidak bisa membunuhmu, Putri,” bisiknya. Mulai saat itu, Kiai Poleng menanggalkan jabatannya, menanggalkan namanya.
Ia menjadi Kiai Poleng, sebuah nama yang diambil dari kain tenunan Madura, dan mengubah penampilannya dengan kain, baju, serta ikat kepala bermotif poleng.
Dengan tangan kosong, Kiai Poleng memotong kayu-kayu hutan, merangkainya menjadi sebuah gitek (rakit) sederhana. Dengan berat hati, ia mendudukkan Putri Bendorogung yang hamil di atas gitek itu, lalu dengan tendangan lembut namun penuh makna, ia mendorong gitek itu ke arah Madu Oro, menuju hamparan luas samudra.
Sang putri pun terombang-ambing di lautan lepas, menuju takdir yang belum terungkap.
Dari sinilah sebagian kisah menuturkan nama Madura bermula, sebuah pulau yang lahir dari pengorbanan, dari misteri ilahi, dan dari perjalanan takdir yang tak terduga.
Namun, ada pula yang berpendapat lain: nama Madura berasal dari Lemah Duro (tanah yang tidak sesungguhnya), tanah yang kadang terlihat saat air surut namun lenyap ditelan gelombang saat air pasang.
V. Awal Peradaban di Gunung Geger
Terombang-ambing di lautan luas, rakit sederhana itu terus berlayar mengikuti arus takdir. Putri Bendorogung sendirian di atasnya. Hingga akhirnya, dengan hembusan angin yang seolah mengerti, rakit itu terdampar bukan di pantai berpasir, melainkan di kaki sebuah bukit yang kokoh, yang kelak dikenal sebagai Gunung Geger.
Di sinilah konon tanah Madura yang sesungguhnya mulai terhampar, sebuah permulaan yang sunyi dan penuh misteri.
Putri Bendorogung, meski lelah dan sendirian di tanah asing itu, masih mengingat pesan Kiai Poleng. Jauh sebelum ia dilepas di lautan, sebuah janji telah terucap:
“Jika kau butuh pertolongan, Putri, dalam keadaan apa pun, hentakkan kakimu ke tanah tiga kali, Aku akan datang.” Janji itu kini menjadi satu-satunya pegangan hidupnya.
Ia mencari perlindungan di bawah teduhnya pohon pelasa, yang daunnya pernah menjadi pembungkus petis, satu-satunya saksi bisu kesendiriannya.
Waktu berlalu dalam kesendirian. Hingga suatu ketika, rasa sakit yang luar biasa mencengkeram perut sang putri. Kontraksi hebat menyerang. Dengan sisa tenaga dan secerca harapan, ia menghentakkan kakinya ke tanah.
Satu… Dua… Tiga… Memanggil janji yang terucap di bibir Kiai Poleng, menembus dimensi.
Seolah mantra purba telah bekerja, dari balik pepohonan muncullah sosok Kiai Poleng, bukan dengan langkah biasa, melainkan seperti muncul dari ketiadaan.
Dalam balutan kesakitan dan ketegangan, di bawah bimbingan Kiai Poleng, lahirlah seorang bayi laki-laki. Wajahnya rupawan, bersih, seolah membawa cahaya dari rembulan yang pernah bersarang di rahim ibunya.
Bayi itu diberi nama Raden Sagoro, sang putra laut, karena ia lahir di tepi lautan di tengah misteri yang tak terpecahkan.
Setelah memastikan sang ibu dan bayi selamat, Kiai Poleng sekali lagi menghilang kembali ke alam misterinya. Keluarga inilah Putri Bendorogung dan Raden Sagoro yang menjadi cikal bakal, akar mula, dan darah pertama yang mengalir di tanah Madura.
VI. Cahaya Purnama dan Warisan Pusaka
Waktu bergulir di Gunung Geger. Dari puncak bukit itu, Putri Bendorogung dan putranya, Raden Sagoro, menjalani hari-hari dalam kesederhanaan, namun diliputi berkah yang tak terduga.
Alkisah, para pelaut dari berbagai penjuru Nusantara, dalam pelayaran malam, sering dibuat takjub oleh sebuah fenomena. Dari arah Gunung Geger memancar cahaya yang amat terang benderang, bak rembulan purnama yang turun ke bumi menembus pekatnya malam.
Para pelaut itu, yang sering tersesat, mulai meyakini cahaya tersebut sebagai pertanda keberuntungan.
“Jika pelayaran kami berhasil, kami akan berlabuh di Geger ini, mengadakan selamatan, dan memberikan persembahan kepada sang cahaya penuntun,” janji mereka di tengah gelombang.
Dan sungguh, banyak di antara mereka yang maksudnya terkabul. Gunung Geger pun tak lagi sunyi. Hadiah-hadiah dari para pelaut berlimpah ruah untuk Putri Bendorogung dan Raden Sagoro, menjadi rezeki tak terduga yang menopang hidup mereka.
Raden Sagoro tumbuh menjadi bocah lincah. Ketika usianya baru menginjak dua tahun, hingga suatu sore saat ia asik bermain di pasir, air laut di hadapannya mulai bergolak aneh.
Dari kedalaman yang gelap muncul dua bayangan raksasa: Dua ekor ular naga yang luar biasa besar. Ketakutan mencekik Raden Sagoro. Dengan jeritan histeris, ia berlari ke ibunya.
Tanpa ragu, Putri Bendorogung menghentakkan kakinya ke tanah memanggil Kiai Poleng. Setelah mendengarkan cerita sang putri, Kiai Poleng muncul dengan aura tenangnya.
“Mari, Sagoro,” katanya, suaranya lembut. “Kita kembali ke pantai.”
Saat mereka tiba, ombak kembali bergemuruh, dan dua naga raksasa itu muncul lagi.
“Tangkap mereka, Sagoro,” perintah Kiai Poleng, “banting mereka ke tanah.” Raden Sagoro gemetar dan menolak. Namun, Kiai Poleng, dengan paksaan lembut, tahu bahwa ini adalah ujian takdir.
Dengan keberanian yang entah datang dari mana, Raden Sagoro melesat. Dengan tangan mungilnya, ia meraih kedua naga raksasa itu seolah mereka hanyalah mainan, dan membanting keras kedua naga itu ke tanah berpasir.
Keajaiban pun terjadi. Dua ekor ular naga raksasa itu begitu menyentuh tanah, meledak dalam kilatan cahaya. Seketika wujud mereka berubah, menyisakan dua bilah tombak yang memancarkan aura magis. Raden Sagoro menyerahkan pusaka itu kepada Kiai Poleng.
“Ini adalah Kiai Nenggolo,” katanya menunjuk tombak yang lebih gagah. “Dan ini Kiai Aluo.” Kiai Aluo akan menjadi penjaga rumah kalian, disimpan di dalam.
Sedangkan Kiai Nenggolo, ia akan menjadi teman setia Raden Sagoro dalam setiap pertempuran yang kelak akan dihadapinya.
VII. Kisah Pasak Pulau Jawa
Kiai Poleng kemudian duduk di hadapan Raden Sagoro, memandang dua bilah tombak sakti itu. Ia mulai bercerita tentang tanah Jawa yang dulu kosong melompong tak berpenghuni.
Jauh di seberang samudra, hiduplah seorang raja perkasa, Raja Rum, yang mendengar kabar adanya sebidang tanah amat subur di selatan.
Raja Rum mengutus panglima terbaiknya. Mereka mendapati tanah Jawa sungguh luar biasa makmur. Maka, beberapa keluarga dari negeri Rum diangkutlah ke tanah Jawa itu. Namun, kebahagiaan itu tak berumur panjang.
Satu per satu keluarga jatuh sakit misterius dan meregang nyawa. Bukan hanya penyakit, Pulau Jawa saat itu adalah sarang bagi makhluk-makhluk tak kasat mata—para hantu dan siluman yang kelaparan, haus akan nyawa manusia.
Raja Rum yang mendengar kabar tragis itu diliputi kepedihan. Ia tahu, jika ingin mengklaim tanah itu, ia harus menyucikannya terlebih dahulu.
Maka, Raja Rum memerintahkan sebuah upacara besar.
Ia memutuskan untuk menyegel kekuatan jahat itu, menancapkan perlindungan di setiap penjuru tanah Jawa, dengan empat senjata pusaka sebagai pasak pelindung yang kekal.
“Ketahuilah, Putraku,” Kiai Poleng menunjuk tombak di tangan Raden Sagoro, “dua pusaka yang kini kau genggam ini adalah bagian dari takdir itu”
Di bagian selatan Pulau Jawa, sebuah pedang suduk yang tajam ditanam. Lalu, di barat laut yang mengarah ke samudra, ditancapkanlah tombak yang gagah perkasa, Kiai Nenggolo, tombakmu.
Di timur laut, kembali pedang suduk yang lain ditanam. Dan di bagian tenggara, ditancapkanlah tombakmu yang lainnya, sang penjaga rumah, Kiai Aluo.
Dengan penancapan empat senjata pusaka itu, kekuatan jahat di tanah Jawa akhirnya terkunci dan perlahan lenyap. Sejak saat itulah tanah Jawa menjadi aman bagi manusia untuk hidup dan berkembang.
Kedua tombak yang kini dimiliki Raden Sagoro adalah warisan dari pertarungan epik itu, simbol perlindungan dan kekuatan yang telah menyucikan sebuah pulau.
VIII. Panggilan Takdir dan Penebusan
Setelah Kiai Poleng menanam pasak-pusaka di tanah Jawa, barulah keluarga-keluarga dari negeri Rum dapat hidup tenang. Sementara itu, di tanah Madura yang baru terbentuk, takdir Raden Sagoro pun mulai bergulir.
Ketika Raden Sagoro menginjak usia tujuh tahun, ia dan ibunya, Putri Bendorogung, berpindah ke sebuah tempat yang lebih lapang, dikelilingi pepohonan nepa tempat yang kini dikenal sebagai Desa Nepah, Sampang.
Sementara itu, di tanah Jawa, kerajaan Medang Kamulan di bawah pimpinan Raja Sang Hyang Tunggal tengah dilanda malapetaka. Gelombang serangan dari negeri Cina telah menguras habis kekuatan.
Dalam kesusahan yang tak terhingga, Raja Sang Hyang Tunggal memohon petunjuk. Dalam tidurnya, sebuah mimpi datang. Sesosok orang tua yang bijaksana muncul, berkata dengan suara gaib,
“Wahai Raja, di sebuah pulau bernama Madu Oro atau Lemah Duro, hiduplah seorang anak muda bernama Raden Sagoro. Dialah kunci kemenanganmu”
Keesokan harinya, Raja Sang Hyang Tunggal segera memerintahkan patihnya untuk mencari Raden Sagoro di Madu Oro. Rombongan prajurit Medang Kamulan pun berlayar penuh tekad.
Sesampainya di Desa Nepah, mereka melihat seorang wanita anggun dan seorang anak laki-laki yang memancarkan aura berbeda.
Dengan arogansi kekuasaan, para prajurit itu berusaha membawa paksa Raden Sagoro. Namun, di tanah Madura, kekuatan tak kasat mata bekerja. Tiba-tiba seluruh tubuh mereka menjadi lumpuh, tak bisa bergerak.
Bersamaan dengan itu, badai tak terduga mengamuk, menghantam perahu-perahu mereka. Patih Medang Kamulan, melihat keajaiban sekaligus azab, segera bersimpuh memohon ampun.
Putri Bendorogung dengan wajah tenang memanggil Kiai Poleng. Setelah mendengar seluruh cerita, Kiai Poleng mengangguk.
“Ini adalah takdir, Putri. Raden Sagoro harus membantu tanah Jawa. Sudah saatnya ia memenuhi panggilan”
Dengan restu ibunya, Raden Sagoro pun bersiap. Ia mengambil tombak pusaka Kiai Nenggolo yang kini terasa begitu pas di tangannya. Bersama rombongan prajurit Medang Kamulan yang kini diliputi rasa hormat, dan ditemani Kiai Poleng sebagai bayangan tak terlihat, Raden Sagoro berlayar menuju Jawa.
IX. Kemenangan dan Muksa
Raden Sagoro akhirnya tiba di tanah Jawa yang porak-poranda. Ia langsung terlibat dalam kancah peperangan melawan tentara Cina yang tak terhitung.
Raden Sagoro bertempur dengan keberanian luar biasa. Dengan tombak Kiai Nenggolo di tangan, ia tak perlu mengayunkan tombaknya secara fisik.
Cukup dengan menunjuk ke arah musuh, tentara-tentara Cina seketika jatuh tersungkur, lumpuh, kejang-kejang, seolah ditimpa kutukan tak terlihat. Ribuan musuh panik, kocar-kacir, dan sisanya lari tunggang langgang.
Kemenangan diraih, Medang Kamulan diselamatkan.
Raja Sang Hyang Tunggal, diliputi sukacita, menganugerahkan gelar agung kepada Raden Sagoro: Tumenggung Gebimet. Raja juga berkeinginan besar menjadikannya menantu.
Sebelum kembali ke Madura, Raja bertanya, “Wahai Tumenggung Gebimet, siapakah sebenarnya ayahandamu yang perkasa itu?” Raden Sagoro menjawab jujur, “Hamba akan menanyakan hal itu kepada ibunda hamba, Baginda Raja.”
Setibanya di Desa Nepah, Raden Sagoro segera menghadap ibunya. Ia menceritakan kemenangan besar di Jawa dan pertanyaan raja tentang ayahnya. Putri Bendorogung seketika dilanda kebingungan dan kepanikan.
Rahasia yang selama ini ia simpan rapat, yang melibatkan kekuatan alam dan takdir Ilahi, kini harus ia hadapi. Dalam keputusasaan yang tak tertahankan, terucaplah sebuah jawaban fatal dari bibirnya:
“Ayahmu… Ayahmu adalah seorang siluman.”
Saat kata siluman itu terucap, seolah mantra purba telah dilanggar. Seketika itu juga, tanpa peringatan, Putri Bendorogung, Raden Sagoro, dan seluruh keraton mereka lenyap dalam sekejap.
Mereka telah muksa (menghilang ke alam gaib). Seolah ditarik kembali oleh kekuatan rembulan dan lautan yang melahirkan mereka. Madura yang baru saja menemukan pahlawannya, kini diliputi duka dan misteri.
X. Warisan Abadi Kiai Poleng
Para tetua bijak di Madura memandang kepergian mereka bukan sebagai akhir, melainkan sebagai sebuah puncak kebijaksanaan dan keadilan ilahi.
Raden Sagoro telah menunaikan sebuah balasan yang agung: membalas kehinaan yang pernah menimpa ibunya penghinaan dari kakeknya sendiri, Raja Sang Hyang Tunggal bukan dengan dendam, melainkan dengan kebaikan tertinggi, menyelamatkan kerajaannya dari kehancuran.
Konon, setelah muksa, Raden Sagoro tidak lenyap begitu saja. Takdirnya berlanjut di alam yang berbeda. Hatinya yang terikat pada samudra membuatnya bertemu dengan Ratu Penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul, dan mereka pun mengikat janji suci.
Namun, warisannya di dunia nyata tak sirna. Kiai Nenggolo dan Kiai Aluo, kedua tombak sakti itu, diamanahkan oleh Raden Sagoro kepada seorang kesatria pilihan, Pangeran Demang Palakaran (atau Kiai Demong) dari Desa Plakaran.
Pangeran inilah yang kelak menjadi bupati Arosbaya di Bangkalan, membawa serta pusaka-pusaka gaib itu sebagai lambang kekuasaan dan perlindungan.
Hingga detik ini, kedua tombak itu diyakini masih menjadi pusaka kebanggaan dan pelindung kerajaan Bangkalan.
Dan Kiai Poleng, sang patih setia yang memilih jalan pengorbanan, tak pernah benar-benar pergi.
Ia tetap setia mendampingi, menjadi penasihat dan pembantu gaib bagi Pangeran Demang Palakaran dan seluruh keturunannya, abadi menjaga Madura dalam bayang-bayang.
Maka, kisah Madura adalah narasi tentang kelahiran, penebusan, dan warisan spiritual yang terus bersemayam dalam ingatan masyarakatnya, membentuk identitas Madura.
Penulis : Id
Editor : Nos
Sumber Berita : Berbagai sumber/yt @ghazaliyin









