Kisah Prabowo Subianto Dijuluki James Bond Oleh Perwira Inggris

PROBOLINGGO – Prabowo Subianto adalah seorang tokoh politik Indonesia yang cukup kontroversial. Ia lahir pada tanggal 17 Oktober 1951 di Jakarta.

Prabowo adalah putra dari
salah satu pendiri Partai Persatuan Pembangunan, Sumitro Djojohadikusumo dan merupakan adik dari Hashim Djojohadikusumo, seorang pengusaha sukses.

Prabowo memiliki latar belakang militer, ia pernah menjabat sebagai Komandan Resimen Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha), Kopassus dan Pangdam Jaya.

Setelah itu, Prabowo pensiun dari militer dan memulai karir di dunia bisnis. Baru-baru ini Prabowo Subianto di akun Facebooknya, bercerita tentang pengalamannya ketika masih aktif di militer.

Berikut cerita yang dituliskan dalam  Facebook milik Prabowo Subianto,

“Hari ini saya ingin berbagi kisah seorang putra daerah Papua namanya Peltu Bayani. Bayani dikenal begitu berani sehingga dia pernah menyusup ke kamp gerilya musuh sendirian tanpa senjata.

Dia melewati para penjaga menuju orang-orang yang berkerumun di sekitar api unggun.

Dia meraih senapan mereka dan mengalahkan mereka. Ia bawa mereka kembali sebagai tahanan.

Dia adalah tentara yang selalu tersenyum, suka bercanda juga. Jika ada Rambo di TNI, saya kira Bayani bisa memenuhi syarat untuk jadi Rambo.

Bayani direkomendasikan kepada saya oleh senior saya saat itu, Mayor Zacky Anwar, yang mengenal Bayani dari operasi di Irian Barat. Menurut Pak Zacky Anwar, Bayani adalah prajurit yang hebat di lapangan.

Dia memiliki teknik lapangan yang hebat, kekuatan fisik yang hebat, dia bisa bergerak di hutan secara diam-diam.

Satu kisah yang ingin saya ceritakan tentang Peltu Bayani terkait operasi pembebasan sandera Mapenduma, yaitu operasi militer untuk membebaskan sejumlah peneliti yang tergabung dalam Tim Ekspedisi Lorentz ‘95 yang disandera kelompok GPK di daerah Mapenduma, Papua pada tahun 1996.

Dalam upaya membebaskan sandera tersebut, saya membentuk tim inti pembaca jejak yang terdiri dari pasukan Kopassus dan pasukan Kodam Cenderawasih.

Mereka semua putra daerah. Kami memberi nama Tim Kasuari, dengan dipimpin langsung Bayani. Tugas mereka adalah masuk ke daerah yang paling sulit.

Pada tahun 1996, TNI tidak memiliki satelit, drone, dan pesawat pengintai yang baik sehingga sangat sulit untuk mendapatkan data intelijen yang mutakhir atau real time intelligence.

Bahkan kita tidak memiliki peta topografi dengan skala 1:50.000. Yang ada hanya satu peta bagan yang terbuat dari tangan. Peta inilah yang akhirnya kita perbanyak.

Menjelang saya memutuskan operasi akan dimulai, saya diberi tahu oleh peninjau dari luar negeri, yaitu dari Inggris.

Mereka menyampaikan bahwa mereka telah berhasil menyelundupkan satu alat -beacon- pada saat mereka menitip obat-obatan, makanan, pakaian melalui Palang Merah Internasional kepada para sandera.

Menurut mereka, beacon ini bisa memberi sinyal dan menentukan exact location. Mereka menggunakan helikopter untuk mencari sinyal -beacon- tersebut.

Setelah sinyal tersebut tertangkap dari atas helikopter, mereka menentukan exact location sasaran.

Setelah beberapa saat, mereka pun kembali dengan helikopter yang saya pinjamkan. Lalu mereka memberikan titik koordinat exact location sasaran kepada saya.

Setelah kami cek, titik sasaran berada di suatu gunung yang tinggi dan bisa kelihatan dari posko saya. Namun, keberadaan titik tersebut di luar enam sasaran yang diberikan oleh Tim Intelijen saya.

Dihadapkan pada dua pilihan yang berbeda, insting saya kemudian mengatakan lebih baik saya bertanya pada orang yang berpengalaman dan menguasai wilayah tersebut. Akhirnya saya memanggil Bayani.

Saya meminta tanggapannya atas informasi yang diberikan oleh pakar dari Inggris tersebut. Bayani menepisnya.

Bayani kemudian memberikan penjelasan yang saya tidak pernah lupa setelah sekian puluh tahun.

Dengan logat khas Papua dia mengatakan, “Bapak, jangankan Kelly Kwalik, monyet pun tidak mau tinggal di situ. Tidak ada air di situ. Bapak, bagaimana sekian puluh orang berada di atas tanpa air.”

Inilah kecerdasan dari seorang pribumi, putra daerah. Dia lebih tahu kondisi setempat dibandingkan dengan orang asing yang datang dari jauh walaupun membawa alat yang canggih.

Saya pun memutuskan untuk menyerang enam titik sesuai hasil kajian Tim Intelijen saya.

Akhirnya kami berhasil membebaskan sandera. Walaupun jatuh korban dari pihak kita dan dari pihak sandera.

Dari 26 sandera, tiga orang dibunuh oleh penyandera. Sisanya lepas termasuk semua orang asing.

Keberhasilan operasi pembebasan sandera Mapenduma ini telah mengangkat wibawa TNI, Pemerintah Pusat, dan Republik Indonesia.

Saya merasa sangat bangga atas keberhasilan ini. Namun, sekarang saya sadar bahwa keberhasilan itu juga karena adanya keberanian dan ketegasan seorang bintara.

Dengan percaya diri, dia berhasil meyakinkan seorang jenderal, seorang perwira tinggi Indonesia. Dia telah berperan besar dalam menyelamatkan wajah bangsa Indonesia.

Saya bersyukur bahwa naluri saya benar untuk mengikuti anak buah saya sendiri dan tidak terintimidasi untuk terlalu mengandalkan teknologi barat yang canggih.

Seorang perwira Inggris bahkan berkomentar:

“Hanya James Bond yang bisa melakukan ini. Hanya James Bond yang bisa berhasil dalam jenis operasi ini.”

Setelah kami berhasil, mungkin orang asing ini sekarang akan menganggap kami setara dengan James Bond. Perbedaan terbesarnya adalah, James Bond adalah fiksi.

Tentara kami nyata dan kami berhasil dalam kenyataan, bukan dalam film.***

Leave a Reply

%d bloggers like this: